Saturday, June 6, 2015

Sikap manusia

Rangkuman Buku Dr. Saiffudin Azwar, M. A sikap manusia teori dan pengukurannya, artikel sikap manusia, pengertian sikap manusia, sikap manusia terhadap lingkungan. Sikap Manusia  (Teori dan Pengukurannya edisi ke 2)

    Pasti anak Fakultas Ilmu Komunikasi sangat butuh tentang bahasan sikap dari teori hingga seluk-beluk pengukuran sikap, mungkin bagi anak Fakultas Ilmu Komunikasi ini sekedar buat skripsi tapi bagi seorang marketer ini sesuatu harta karun bagaimana kita bisa mengetahui sikap dan pengukurannya sikap kliennya, Jadi sebaiknya wajib dibeli dan dimiliki.

          Sikap berbeda dengan perilaku, Sikap hanya sebatas kecenderungan bertindak atau  bisa dikatakan merespon terhadap lingkungan setelah ada evaluasi dalam diri, evaluasi diri terjadi dengan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dengan objek. Secord &Backman (1964), misalnya, mendefinisikan sikap sebagai ‘keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya’ (Azwar, 2012:5)
          Ahli-ahli yang lain mendefinisikan konstrak kognisi, afeksi, dan konasi sebagai tidak menyatu langsung ke dalam konsepsi mengenai sikap. Pandangan ini, yang dinamakan tripartite model yang dikemukakan oleh Rosenberg dan Hovland(1960 dalam Ajzen, 1998), menempatkan ketiga komponen afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang pertama dalam suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan kemudian dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai faktor tunggal jenjang kedua. (Azwar, 2012:7).

Tipe Respon
Kategori Respon
Kognitif
Afektif
Konatif

Verbal



Pernyataan keyakinan mengenai
objek sikap
Pernyataan perasaan    terhadap
objek sikap
Pernyataan
intensi
perilaku


Non Verbal

Reaksi
perceptual
terhadap
objek sikap
Reaksi
fisiologis
terhadap
objek sikap
Perilaku
tampak
sehubungan
dengan objek sikap

Respon yang digunakan untuk penyimpulan sikap
(diadaptasi dari Rosenberg & Hovland, 1960 dalam Ajzen, 1988) 
Konsistensi Sikap – Perilaku
          Kurt Lewin (1951, dalam Brigham, 1991) merumuskan suatu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E), yaitu
          B = f(P,E)
          Karakteristik individu meliputi berbagai variable seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukkan perilaku. (Azwar, 2012:11).
          Sedangkan sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluative. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya disadari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. (Azwar, 2012:15).
          Pada intinya sikap dan perilaku tidak selalu memiliki hubungan yang konsisten bahkan bisa berdiri sendiri atau terpisah. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian yang kontradiktif ini, Warner & DeFleur (1969, dalam Allen, Guy, & Edgley, 1980) mengemukakan tiga postulat guna mengindetifikasikan tiga pandangan umum mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu Postulat Konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal merupakan petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksi apa yang akan dilakukan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu objek sikap.
          Postulat variasi Independen mengataakan bahwa tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku berhubungan secara konsisten. Sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah, dan berbeda. Mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku.
Dan yang terakhir Postulat Konsistensi Tergantung menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasioanl tertentu. Norma-norma, peranan, keanggotaan kelompok, kebudayaan dan lain sebagainya merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. 
Pembentukan Sikap

          Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbale balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu  dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya. (Azwar, 2012:30)
          Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah:
1.      Pengalaman Pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi pengahayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Apakah pengahayalan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataukah sikap negative, akan tergantung pada berbagai faktor lain. Sehubungan dengan hal ini. Middlebrook (1974) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.
2.      Pegaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuan bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi kita (significant others), akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di antara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, isteri atau suami, dan lain-lain.
3.      Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang mendukung terhadap masaalah kebebasan pergaulan heteroseksual. Apabila kita hidup dalam budaya sosial yang sangat mengutamakan kehidupan berkelompok, maka sangat mungkin kita akan mempunyai sikap negatif terhadap kehidupan individualisme yang mengutamakan kepentingan perorangan.
4.      Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, suratkabar, majalah, dll. Mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan member dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
5.      Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6.      Pengaruh Faktor Emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.
      Suatu contoh bentuk sikap yang didasari oleh faktor emosional adalah prasangka (prejudice). Prasangka didefinisikan sebagai sikap yang tidak toleran. Tidak’fair’, atau tidak favorabel terhadap sekelompok orang (Harding, Prosbansky Kutner, & Chein, 1969; dalam Wrightsman & Deaux, 1981). 
Teori Keseimbangan Heider
            Teori keseimbangan (balance theory) yang dikemukakan oleh Fritz Heider (Mann, 1969; Secord & Backman, 1964; Fishbein & Ajzen, 1975; Feldman, 1985) merupakan formulasi yang paling awal dan sederhana dari prinsip konsistensi yang dianut dalam teori organisasi sikap. Teori ini timbul dari minat Heider pada faktor-faktor yang mempengaruhi atribusi kausal suatu peristiwa terhadap diri seseorang.
            Keadaan  keseimbangan atau ketidakseimbangan selalu melibatkan tiga unsure yaitu Individu (I), Orang lain (O), dan Objek sikap (Ob). Pengertian keadaan seimbang atau adanya keseimbangan menunjuk kepada suatu situasi dimana hubungan diantara unsure-unsur yang ada berjalan harmonis sehingga tidak terdapat tekanan untuk mengubah keadaan.
            Apabila hubungan unsure-unsur berada dalam ketidakseimbangan maka akan timbul suatu kekuatan yang mendorong pengembalian keseimbangan itu tidak tercapai maka akan terjadi ketegangan, sedangkan bila perubahan mungkin terjadi maka hal itu dapat terjadi pada karakter, yaitu I atau O, dan dapat pula terjadi pada fungsi hubungan diantara unsure-unsur yang bersangkutan.
            Dengan member tanda ‘+’ untuk efek positif (positif effect ) dan tanda ‘-‘ untuk efek negative (negative effect), maka suatu keseimbangan akan dicapai bila hubungan diantara ketiga unsure tersebut ditunjukkan oleh tanda +++ atau ditunjukkan oleh tanda --, yaitu bila ketiga-tiganya positif atau dua diantara ketiganya adalah negatif.
            Sebagai contoh, bila dua orang berteman (satu tanda + untuk fungsi hubungan antara unsur I dan O) dan keduanya memiliki sikap yang serupa terhadap rokok (karakter dinamis I dan Ob sama dengan karakter dinamis O dan Ob, yaitu sama + atau sama -) maka diperoleh keseimbangan dalam bentuk +++ atau +--. Bila salah-satu diantarnya kemudian berubah sikap maka terjadi ketidaksamaan tanda hubungan antara I dan Ob dengan O dan Ob sehingga diperoleh tanda ++- atau +-+ yang memperlihatkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini menimbulkan ketegangan yang mendorong terjadinya perubahan arah keseimbangan hubungan diantara ketiga unsur tersebut. Perubahan yang mungkin terjadi adalah persahabatan mereka putus (tanda -+- atau --+), mereka akan saling berusaha mempengaruhi agar mitranya berubah sikap, atau salah-satu diantara mereka akan menyesuaikan sikapnya sehingga keseimbangan kembali seperti semula.
            Contoh lain yang lebih berkaitan dengan atribusi kausal adalah pelajar yang mengetahui bahwa sejak kepala sekolahnya diganti maka para siswa tidak lagi diperkenankan membawa kendaraan bermotor ke sekolah. Dalam model ini, keseimbangan juga akan terjadi apabila seseorang memilliki sikap yang tidak sama terhadap dua unsur dan beranggapan bahwa satu unsur tidak disebabkan oleh unsurnya yang lainnya. Jadi keadaan seimbang tetap terpelihara apabila pelajar tersebut bersikap positif terhadap kepala sekolah baru (unsur pertama) dan menyetujui larangan membawa kendaraan bermotor (unsur kedua) atau bila ia tidak menyukai kepala sekolah yang baru dan tidak setuju terhadap larangan tersebut. Apabila ia suka pada kepala sekolah yang baru akan tetapi tidak setuju pada peraturan yang melarang membawa kendaraan bermotor ke sekolah, maka akan terjadilah keadaan tidak seimbang dalam diri orang yang bersangkutan.
            Tampaklah bahwa dalam teori ini, persepsi orang terhadap bentuk hubungan diantara unsure-unsur yang terlibat memegang peranan penting dalam membentukan keadaan keseimbangan yang terjadi. Hubungan diantara unsure-unsur tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk suka (L) dan tidak suka (L) serta bentuk kausal atau sebab-akibat (U) dan bukan sebab-akibat (U).
            Dengan demikian, prinsip keseimbangan Heider dapat dirumuskan sebagai berikut:
            Diantara dua unsur, suatu keadaan seimbang akan terjadi apabila hubungan diantara keduanya adalah positif (atau negatif) dari semua segi yaitu sesuai dengan semua arti L dan U… Diantara tiga unsur, suatu keadaan seimbang akan terjadi apabila ketiga hubungan semuanya positif dari semua segi atau bila dua diantaranya negatif dan satu positif (Heider, 1958 dalam Fishbein & Ajzen, 1975)
            Teori keseimbangan Heider menurut para ahli psikologis sosial memang merupakan awal yang baik dalam melakukan analisis mengenai konsistensi kognitif dan implikasinya sangat luas walaupun memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan itu, antara lain, pertama dalam sifat hubungan unsur-unsur yang hanya kualitatif (suka-tidak suka) padahal sikap dan kepercayaan memiliki derajat atau tingkatan yang perlu dikuantifikasikan. Ke dua, teori ini berbicara mengenai hubungan antar unsur-unsur yang banyaknya terbatas hanya pada tiga unsur saja. Ke tiga, walaupun Heider mendiskusikan kemungkinan adanya hubungan ganda diantara dua unsur tapi tidak bicara mengenai tingkat keseimbangan yang dapat terjadi dalam konfigurasi yang kompleks seperti itu (Fishbein & Ajzen, 1975)
            Keterbatasan itu tampak pula dalam beberapa kasus penerapannya pada situasi sosial yang sederhana sekalipun. Sebagai contoh, seorang bapak (I) menyenangi burung (O) padahal burung menyukai cacing (Ob) maka meskipun bapak tersebut tidak menyukai cacing (+-+) tidak berarti terjadi ketidakseimbangan dalam hubungan mereka. Contoh lain, dua orang wanita (I) dan (O) sama mencintai satu pria yang sama (Ob) maka tidaklah dapat diharapkan terjadinya keseimbangan sebagaimana dikatakan teori ini karena kedua orang tersebut sangat mungkin akan saling tidak menyukai. 
Persuasi dan Pengubahan Sikap Manusia

          Hampir tak seorangpun yang tidak terkena dampak teknologi komunikasi. Gaya hidup, selera, nilai-nilai, norma, dan banyak aspek kepribadian manusia ikut dibentuk oleh TV, radio, majalah, dan pesan-pesan yang disampaikan lewat berbagai sarana. Setiap hari kita dijejali iklan komersil, setiap hari disuapi orasi politik, dan setiap hari pula kita kenyang dengan pesan ideologi . Pada satu sisi, adalah sikap manusia terbentuk dan berubah oleh dampak modernisasi komunikasi dan pada gilirannya sikap itu sendiri berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan sosial.
          Pemahaman mengenai mekanisme perubahan dan pengubahan sikap sangat diperlukan karena sebagai manusia kadang-kadang kita berperan sebagai agen perubahan dan kadang-kadang kita berperan sebagai subjek perubahan. Suatu waktu mungkin kita yang menginginkan orang lain agar mengubah sikap dan di lain waktu mungkin kita perlu mempertahankan sikap dari usaha-usaha yang hendak mengubahnya.
          Bagaimana sikap dapat berubah atau diubah, pembahasan mengenai proses perubahan sikap hampir selalu dipusatkan pada cara-cara manipulasi atau pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perubahan sikap ke arah yang dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi itu diperoleh dari pemahaman mengenai organisasi sikap, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan proses perubahan sikap, terutama yang berkaitan dengan pembentukan stimulus tertentu untuk menghadirkan respons yang dikehendaki.
          Diantara beberapa teori organisasi sikap yang telah diuraikan terdahulu, terdapat teori yang telah memberikan uraian pula mengenai proses mekanisme perubahan sikap. Pada teori Kelman misalnya, ditunjukkan bagaimana sikap dapat berubah melalui tiga proses yaitu kesediaan, identifikasi, dan internalisasi. Oleh karena itu, uraian berikut tidak semata-mata terpusat pada masalah bagaimana organisasi sikap dapat mempertahankan prinsip konsistensinya atau bagaimana organisasi sikap dapat berubah sesuai dengan perubahan aspke kognitif ataupun aspke afektif sikap, akan tetapi lebih ditekankan pada faktor yang dianggap sangat berpengaruh dalam mengarahkan sikap kepada bentuk yang dikehendaki. Faktor tersebut adalah faktor eksternal, yaitu faktor yang ada di luar diri individu, yang dengan sengaja dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap manusia sehingga dengan sadar atau tidak sadar individu yang bersangkutan akan mengadopsi sikap tertentu. Faktor ini pada dasarnya berpijak pada suatu proses yang disebut strategi persuasi untuk mengubah sikap.
          Persuasi merupakan usaha pengubahan sikap individu dengan memasukan ide, pikiran, pendapat, dan bahkan fakta baru lewat pesan-pesan komunikatif. Pesan yang disampaikan dengan sengaja dimaksdukan untuk menimbulkan kontradiksi dan inkositensi diantara komponen sikap individu atau diantara sikap dan perilaku sehingga menganggu kestabilan sikap dan membuka peluang terjadinya perubahan yang diingikan. 
Pendekatan Tradisional

          Pendekatana tradisional dalam persuasi pada umumnya meliputi beberapa unsur, yaitu sumber (source) sebagai komunikator yang membawa pesan (message-communication) kepada mereka yang sikapnya hendak diubah (audiecnce), sehingga dikenal istilah “who says what to whom and with what effect”. Peran kesemua unsur dalam komunikasi persuasive ini ditelaah melalui studi dan riset sehingga melahirkan konsep dan teori mengenai strategi persuasi dalam usaha pengubahan sikap manusia.
          Pertama kita akan melihat hasil studi yang dilakukan di Universitas Yale yang sangat popular dan telah mengilhami studi-studi berdasarkan pendekatan tradisional pada masa-masa berikutnya. 
Model Studi Yale
          Hovland dan kawan-kawannya (Fishbein & Ajzen, 1975; Brehm & Kassin, 1990) meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi persuasif. Dalam penelitiannya yang diadakan di Universitas Yale, ia mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses yang digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan stimuli (yang biasanya dalam bentuk lisan) guna mengubah perilaku orang lain.
          Untuk mempelajari efek sumber komunikasi, yaitu komunikator, para peneliti tersebut memanipulasi berbagai karakteristik komunikator seperti sejauh mana ia dapat dipercaya. Keahliannya, status, popularitasnya, dan lain-lain. Kemudian dipelajari pula berbagai karakteristik pesan yang disampaikan dengan memanipulasi berbagai aspek tipe komunikasi yang berlainan. Pada sisi lain riset tersebut meneliti berbagai variable yang ada pada diri subjek penerima pesan itu seperti kemudahannya disugesti, sikap mereka sebelum diberi pesan, intelegensi, harga diri, kompleksitas kognitif, dan berbagai siafat kepribadian lainnya.
          Asumsi dasar yang melandasi studi Hovland dan kawan-kawanya adalah anggapan bahwa efek suatu komunikasi tertentu yang berupa perubahan sikap akan tergantung pada sejauh mana komunikasi itu diperhatikan, dipahami, dan diterima.

Langkah ini disajikan pada gambar

Kemudian, secara lebih terurai, faktor-faktor utama dalam model yang diusulkan oleh Havland dan kawan-kawan dilukiskan gambar


Pada ilustrasi gambar terlihat bahwa perhatian dan pemahaman subjek terhadap komunikasi atau pesan yang disampaikan akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh subjek mengenai isi pesan tersebut, sedangkan proses-proses lain dianggap menentukan apakah isi yang dipelajari itu akan diterima atau diadopsi oleh subjek ataukah tidak.
          Kesemua itu kemudian dirangkum dalam suatu model proses persuasi oleh McGuire (McGuire, 1968 dalam Fishbein & Ajzen, 1975) sebagai proses yang mencakup dua langkah pokok, yaitu penangkapan isi pesan (reception) dan penerimaan apa yang telah dipahami (acceptance). Secara simbolik, model ini ditulis sebagai berikut:
          P(O) = p(R) P (Y)
          p(O) = probabilitas terjadinya perubahan pendapat
          p(R) = probabilitas adanya pemahaman yang efektif
          p(Y) = probabilitas menerima apa yang dipahami
          Rumusan di atas menunjukkan bahwa terjadinya perubahan pendapat atau perubahan sikap merupakan fungsi interaksi antara probalitas terjadinya pemahaman dan probalitas diterimanya isi yang dipahami oleh individu.
          Selanjutnya, McGuire menambahkan pula bahwa dalam proses persuasi terdapat dua langkah lanjutan, yaitu retensi atau pengendapan isi yang telah disetujui dan tindakan yang sesuai dengan isi tersebut. Dengan demikian, persuasi dapat dianggap melibatkan langkah-langkah perhatian, pemahaman, penerimaan, pengendapan, dan tindakan. Dikatakannya bahwa penerima pesan haruslah menjalani kesemua langkah tersebut agar komunikasi menghasilkan dampak persuasif yang optimal. Masing-masing langkah tersebut dipandang sebagai suatu kemungkinan ukuran adanya perubahan sikap.
          Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa untuk mencapai tujuan pengubahan sikap, perhatian komunikator hendaklah dipusatkan pada cara bagaimana yang harus ditempuh agar masing-masing langkah dalam proses persuasi itu terjadi dalam diri subjek yang hendak diubah sikapnya. Apabila dikembalikan pada ilustrasinya Hovland, maka tentulah perhatian tersebut harus diarahkan pada faktor atau variabel yang mempengaruhi proses itu baik faktor sumber, faktor pesan, maupun faktor subjek penerima.
          Robert Baron dan Donn Byrne mengemukakan bahwa hasil riset mengenai persuasi dengan pendekatan tradisional ternyata kompleks dan tidak seluruhnya konsisten. Rangkuman adalah sebagai berikut
1.      Para ahli (orang yang kompeten) akan lebih persuasif dibandingkan dengan orang yang bukan bukan ahli (Hovland & Weiss, 1951). Suatu pesan persuasif akan lebih efektif apabila kita mengetahui bahwa penyampai pesan adalah orang yang ahli dalam bidangnya.
2.      Pesan yang ditujukan untuk mengubah sikap tanpa perantara biasanya lebih berhasil daripada pesan yang tampak jelas berusaha memanipulasi kita (Walster & Festinger, 1962). Kita cenderung tidak mau dimanipulasi sehingga kalau kita menyadari ada usaha yang sengaja hendak mengubah sikap kita, kita akan menolak. Inilah yang menjadi dasar apa yang disebut sebagai soft sell dalam dunia bisnis, yang digambarkan dalam beberapa slogan semacam “Kepuasan anda adalah tujuan utama kami” atau “Atas permintaan masyarakat yang semakin mendesak, maka hari penjualan dengan diskon akan kami perpanjang”.
3.      Komunikator yang popular dan menarik akan lebih efektif daripada komunikator yang tidak popular dan tidak menarik (Kiesler & Kiesler, 1969).
4.      Kadang-kadang manusia lebih mudah terpengaruh oleh persuasi sewaktu perhatian mereka terpecah oleh kejadian lain daripada sewaktu mereka menaruh perhatian penuh pada pesan yang disampaikan (Allyn & Festinger, 1961).
5.      Individu yang memiliki harga diri rendah akan lebih mudah terbujuk daripada individu yang memiliki harga diri tinggi (Janis, 1954)
6.      Bila individu yang menjadi sasaran memiliki sikap yang bertentangan dengan sikap para calon pelaku persuasi maka akan lebih efektif bagi komunikator untuk melakukan pendekatan dua-sisi (two sided-approach) yang menyajikan pandangan kedua belah pihak daripada pendekatan satu sisi.
7.      Orang yang berbicara cepat pada umumnya lebih lebih persuasif daripada orang yang berbicara lambat (Miller et al.,1976). Temuan ini bertentangan dengan pendapat umum bahwa orang berbicara cepat kurang dapat dipercaya.
8.      Persuasi dapat diperkaya oleh pesan-pesan yang membangkitkan emosi yang kuat (khususnya emosi takut) dalam diri orang, terutama ketika pesannya berisi rekomendasi mengenai bagaimana perubahan sikap dapat mencegah konsekuensi negeatif dari sikap yang hendak diubah (Leventhal, Singer & Jones, 1965). Cara ini tampaknya sangat efektif apabila sikap atau perilaku yang hendak diubah itu ada kaitannya dengan aspek kesehatan (Robberson & Rogers, 1988). 

Pengukuran Sikap

          Salah-satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah masalah pengungkapan (assessment) atau pengukuran (measurement) sikap. Oleh karena itu, masalah pengukuran sikap akan mendapat perhatian khusus dalam pembahasan.
          Dalam bukunya yang berjudul Principles of Educational and Psychological Measurement and Evaluation, Sax (1980) menunjukkan beberapa karekteristik (dimensi) sikap yaitu arah, intensitas, keluasan, konsisten, dan spontanitasnya.
          Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek. Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti memiliki sikap yang arahnya positif sebaliknya mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya negatif.
          Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda. Dua orang yang sama tidak sukanya terhadap sesuatu, yaitu sama-sama memiliki sikap yang berarah negatif belum tentu memiliki sikap negatif yang sama intensitasnya. Orang pertama mungkin tidak setuju tapi orang kedua dapat saja sangat tidak setuju. Begitu juga sikap yang positif dapat berbeda kedalamannya bagi setiap orang, mulai dari agak setuju sampai pada kesetujuan yang ekstrim.
          Sikap juga memiliki keluasan, maksudnya kesetujuan atau ketidak setujuan terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada objek sikap. Seseorang dapat mempunyai sikap yang favorabel terhadap program keluarga berencana secara menyeluruh, yaitu pada semua aspek dan kegiatan keluarga berencana sedangkan orang lain mungkin mempunyai sikap positif yang lebih terbatas (sempit) dengan hanya setuju pada aspek-aspek tertentu saja kegiatan program keluarga berencana tersebut.
          Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya adalah kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap objek sikap termaksud. Konsistensi sikap diperlihatkan oleh kesesuaian sikap antar waktu. Untuk dapat konsisten, sikap harus bertahan dalam diri individu untuk waktu yang relatif panjang. Sikap yang sangat cepat berubah, yang labil, tidak dapat bertahan lama dikatakan sebagai sikap yang inkonsisten.
          Karakteristik sikap yang terakhir adalah spontanitasnya, yaitu menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih dahulu agar individu mengemukakannya. Hal ini tampak dari pengamatan terhadap indikator sikap atau perilaku sewaktu individu berkesempatan untuk mengemukakan sikapnya. Dalam berbagai bentuk skala sikap yang umumnya harus dijawab dengan “setuju” atau “tidak setuju”, spontanitas sikap ini pada umumnya tidak dapat terlihat.
          Pengukuran dan pemahaman terhadap sikap, idealnya, harus mencakup kesemua dimensi tersebut di atas. Tentu saja hal itu sangat sulit untuk dilakukan, bahkan mungkin sekali merupakan hal yag mustahil. Belum ada atau mungkin tak akan pernah ada instrument pengukuran sikap yang dapat mengungkapkan kesemua dimensi itu sekaligus. Banyak diantara skala yang digunakan dalam pengukuran sikap hanya mengungkapkan dimensi arah dan dimensi intensitas sikap saja, yaitu dengan hanya menunjukkan kecenderungan sikap positif atau negatif dan memberikan tafsiran mengenai derajat kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap respon individu.
          Usaha pengukuran sikap sendiri dipacu oleh sebuah artikel yang ditulis oleh Louis Thurstone di tahun 1928 yang berjudul Attitude Can Be Measured dan ternyata samapai sekarang sudah lebih dari 500 macam metode pengukuran sikap yang muncul (Fishbein &Ajzen, 1972 dalam Brehm & Kassin, 1990).
          Berikut ini adalah uraian mengenai beberapa diantara banyak metode pengungkapan sikap yang secara historik telah dilakukan orang. 
Observasi Perilaku
          Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (berulang), misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukankah kita boleh berkesimpulan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia? Orang lain yang selalu memakai baju berwarna putih, bukankah memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih?
          Oleh karena itu sangat masuk akal tampaknya apabila sikap ditafsirkan dari bentuk perilaku yang tampak. Dengan kata lain, untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat memperhatikan perilakunya, sebab perilaku merupakan salah-satu indikator sikap individu.
          Sayangnya, sesuai dengan postulat konsintensi yang telah diuraikan dalam awal-awal, perilaku ternyata menjadi indikator yang baik bagi sikap hanya apabila sikap berada dalam posisi ekstrim. Pada umumya konsistensi tergantung (postulate of contingent consistency), yang mengatakan bahwa perilaku hanya konsisten dengan sikap apabila kondisi dan situasi memungkinkan. 
Penanyaan Langsung
          Asumsi yang mendasari metode penanyaan langsung guna pengungkapan sikap pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakan. Oleh karena itu, dalam metode ini, jawaban yang diberikan oleh mereka yang ditanyai indikator sikap mereka.
          Telaah  yang lebih mendalam dan hasil-hasil penelitian telah meruntuhkan asumsi-asumsi tersebut di atas (Edwards, 1957). Ternyata orang akan mengemukakan pendapat dan jawaban yang sebenarnya secara terbuka hanya apabila situasi dan kondisi memungkinkan. Artinya, apabila situasi dan kondisi memungkinkannya untuk mengatakan hal sebenarnya tanpa rasa takut terhadap konsekuensi langsung maupun tidak langsung yang dapat terjadi. Dalam situasi tanpa tekanan dan bebas dari rasa takut, serta tidak terlihat adanya keuntungan untuk berkata lain, barulah individu cenderung memberikan jawaban yang sebenarnya sesuai dengan apa yang dirasakannya. 
Pengungkapan Langsung
          Suatu versi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan aaitem tunggal maupun menggunakan aitem ganda (Ajzen, 1988)
          Prosedur pengungkapan langsung dengan aitem tunggal sangat sederhana, Responden diminta menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan member tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian responsnya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur bila ia tidak perlu menuliskan nama atau identitasnya.
          Problem utama dalam pengukuran dengan aitem tunggal adalah masalah reliabilitas hasilnya. Sudah sangat dimaklumi oleh para ahli bahwa secara teoretik maupun empirik, pengukuran yang reliabel memerlukan aitem yang banyak. Aitem tunggal terlalu terbuka terhadap sumber eror pengukuran. Eror yang terjadi dapat berkaitan dengan masalah kalimat atau redaksional pertanyaannya yang mungkin kurang jelas, mungkin dipahami secara salah, mungkin mengandung istilah teknis yang punya arti khusus,dan mungkin pula mengandung pengertian sensitif sehingga jawaban yang diinginkan dari individu tidak menggambarkan jawaban yang seharusnya.
          Salah-satu bentuk pengungkapan langsung dengan menggunakan aitem ganda adalah teknik diferensi semantic (semantic differential). Teknik diferensi semantik (Osgood, Suci, & Tannenbaum, 1975) dirancang untuk mengungkapan afek atau perasaan yang berkaitan dengan suatu objek sikap.
          Menurut Osgood dua teman-temannya, diantara banyak dimensi atau faktor yang berkaitan dengan sikap yang paling utama adalah dimensi evaluasi, dimensi potensi, dan dimensi aktivitas. Dimensi-dimensi ini disajikan dengan menggunakan sepasang kata sifat yang bertentangan satu sama lain. Contoh pasangan kata sifat untuk dimensi evaluasi antara lain adalah ‘baik-buruk’, ‘cantik-jelek’, dsb. Yang menekankan nilai kebaikan. Contoh pasangan kata sifat untuk dimensi potensi antara lain ‘kuat-lemah’, ‘berat-ringan’, Contoh pasangan kata sifat untuk dimensi aktivitas antara lain adalah ‘cepat-lambat’, ‘aktif-pasif’, dll. 

Skala  Sikap

          Metode pengungkapan sikap dalam bentuk self-report yang hingga kini dianggap sebagai paling dapat diandalkan adalah dengan menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu yang disebut sebagai skala sikap.
          Skala sikap (attitude scales) berupa kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap. Dari respons subjek pada setiap pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Pada beberapa bentuk skala dapat pula diungkap mengenai keluasan serta konsistensi sikap. Penyusunan skala sikap sebagai instrumen pengungkapan sikap individu ataupun sikap kelompok bukanlah hal yang mudah. Betapa pun besar usaha dan kerja yang dicurahkan dalam penyusunan skala sikap, tetap saja terdapat celah-celah kelemahan yang menjadikan skala itu kurang berfungsi sebagaimana mestinya sehingga tujuan pengungkapan sikap yang diinginkan tidak seluruhnya tercapai.
          Salah-satu sifat skala sikap adalah isi pernyataaan yang dapat berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukurannya akan tetapi dapat pula berupa pernyataan tidak langsung yang tampak kurang jelas tujuan ukurannya bagi responden. Walaupun responden dapat mengetahui bahwa skala tersebut bertujuan mengukur sikap namun pernyataan tidak langsung ini biasanya tersamar dan mempunyai mempunyai sifat proyektif. Respons individu terhadap stimulus (pernyataan-pernyataan) sikap yang berupa jawaban setuju atau tidak setuju itulah yang menjadi indikator sikap seseorang. Respons yang tampak, yang dapat diamati langsung dari jawaban yang diberikan seseorang, merupakan bukti satu-satunya yang dapat kita peroleh. Itulah yang menjadi dasar bagi kita untuk menyimpulkan sikap seseorang atau sikap sekelompok orang.
          Meskipun pernyataan sikap (attitude expression) yang diperoleh dari suatu skala sikap merupakan indikator sikap yang paling dapat diandalkan namun tidaklah berarti bahwa skala-skala itu selalu dapat dipercaya sepenuhnya dan selalu dapat dengan jitu mencerminkan sikap yang sesungguhnya. Hal itu disebabkan adanya berbagai faktor yang menghambat penerjamahan sikap individu yang sebenarnya ke dalam pernyataan-pernyataan yang terdiri atas kalimat-kalimat yang maknanya terbatas. 
Pengukuran Terselubung

          Metode pengukuran terselubung (covert measures) sebenarnya berorientasi kembali ke metode observasi perilaku yang telah dikemukakan di atas, akan tetapi sebagai objek pengamatan bukan lagi perilaku tampak yang didasari atau sengaja dilakukan oleh seseorang melainkan reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi lebih di luar kendali orang yang bersangkutan.
          Sampai batas tertentu memang kita dapat menafsirkan perasaan orang dari pengamatan atas reaksi wajah, dari nada suara, dari gerak tubuh, dan dari beberapa aspek perilakunya. Gary Wells dan Richard Petty di tahun 1980 (Brehm & Kassin, 1990) meneliti reaksi para mahasiswa sewaktu mereka mendengarkan pidato dengan cara merekamnya diam-diam. Ternyata apabila para mahasiswa itu mendengar pidato dari orang yang sepihak atau sependapat dengan mereka dalam suatu hal (misalnya pembicara menekankan pentingnya menambah fasilitas bagi kegiatan mahasiswa) maka para mahasiswa itu tanpa sadar membuat gerakan kepala vertikal ke atas ke bawah sedangkan apabila mereka mendengar pembicara lain menyampaikan isi pidato yang berlawanan dengan perasaan mereka (seperti perlunya menaikkan uang kuliah) maka para mahasiswa tersebut secara tidak sadar pula membuat gerakan kepala horizontal.
          Observasi perilaku eksternal seperti ini tetap harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena masih ada kemungkinan salahnya kesimpulan yang kita peroleh. Bukankah mengangguk tidak selalu berarti setuju tapi dapat juga menjadi tanda seseorang sedang mengantuk? Bukankah menggeleng tidak selalu berarti tidak suka tapi merupakan gerakan mengusir serangga yang mengganngu atau gerakan mengusir kepenatan leher. 

Pernyataan Sikap

          Pernyataan sikap (attitude statements) adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap
          Sebagai contoh, kalau objek sikapnya adalah “Merokok di dalam Bis” maka segala sesuatu yang dikatakan mengenai perilaku merokok dalam bis dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya merupakan pernyataan sikap. Kalimat-kalimat seperti “Merokok dalam bis merupakan hak azasi setiap orang” (afektif), “asap rokok dalam bis mengganggu kesehatan penumpang lain” (kognitif), dan “Andaikan saya berwenang saya akan mengeluarkan peraturan melarang penumpang merokok dalam bis” (konatif), semua itu merupakan pernyataan sikap terhadap perilaku merokok dalam bis.
          Contoh lain, apabila suatu skala dimaksudkan untuk mengungkapkan sikap terhadap Emansipasi Wanita, maka emansipasi wanita merupakan objek sikap dan setiap hal yang dikatakan mengenai emansipasi wanita  dan hal-hal yang berkaitan dapat merupakan pernyataan sikap. Beberapa diantarnya pernyataan sikap dalam contoh ini adalah “Emansipasi wanita bertentangan dengan kodrat kewanitaan”, “Setiap wanita berhak mendapat perlakuan yang sama seperti pria”, dan “Emansipasi wanita merupakan syarat modernisasi bangsa”.
          Pernyataan-pernyataan sikap seperti di atas apabila ditulis dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar, setelah melalui prosedur penskalaan (scaling) dan seleksi item, akan menjadi isi suatu skala sikap.
          Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai objek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada objek sikap. Pernyataan seperti ini disebut sebagai pernyataan yang favorabel. Contoh pernyataan favorabel adalah “Merokok dalam bis merupakan hak azasi setiap orang”.
          Kalimatnya ini jelas mendukung atau memihak pada perilaku merokok di dalam bis karena bila dilihat dari sudut perilaku merokok sebagai objek sikap, pernyataan ini mengatakan hal yang positif.
          Sebaliknya, pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal yang negatif mengenai objek sikap, yaitu yang bersifat tidak mendukung ataupun kontra terhadap terhadap objek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan seperti ini disebut sebagai pernyataan yang tak favorabel. Suatu contoh pernyataan yang tak favorabel adalah “Emansipasi wanita bertentangan dengan kodrat kewanitaan”.
          Karena pernyataan ini tidak mendukung bahkan mengatakan hal yang negatif mengenai emansipasi wanita maka disebut sebagai pernyataan yang tak favorabel ditinjau dari sudut emansipasi wanita.
          Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorabel dan pernyataan tak favorabel dalam jumlah yang kurang lebih seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif atau semua negatif yang dapat mendatangkan kesan seakan-akan isi skala yang bersangkutan seluruhnya memihak atau sebaliknya seluruhnya tidak memihak objek sikap. Variasi pernyataan favorabel dan tak favorabel akan membuat responden memikirkan lebih hati-hati isi pernyataannya sebelum memberikan respons sehingga stereotype responden dalam menjawab dapat dihindari. 

Kaidah-kaidah Penulisan Pernyataan

          Untuk menulis banyak pernyataan sikap, penulisan aitem dapat memanfaatkan berbagai sumber  bacaan dan referensi, gagasan-gagasan, informasi, hasil pengamatan, dan kreativitasnya sendiri sepanjang tidak menyimpang dari spesifikasi yang telah dibuat.
          Sejalan dengan itu, untuk menulis pernyataan sikap yang bermutu penyusunan skala harus menuruti suatu kaidah atau pedoman penulisan pernyataan agar cirri-ciri pernyataan sikap tidak terlupakan dan agar setiap pernyataan mempunyai kemampuan membedakan antara kelompok responden yang setuju dengan kelompok responden yang tidak setuju terhadap objek sikap.
          Edwards (1957) telah meramu berbagai saran dan petunjuk dari para ahli menjadi semacam pedoman penulisan pernyataan yang disebutnya sebagai criteria informal penulisan pernyataan sikap. Kriteria termaksud, antara lain, adalah sebagai berikut.
1.      Jangan menulis pernyataan yang membicarakan mengenai kejadian yang telah lewat kecuali kalau objek sikapnya berkaitan dengan masa lalu.
Contoh: (Objek sikap – Politik bebas aktif)
“Pemutusan hubungan diplomatic dengan Malaysiadi masa Presiden Sukarno merupakan tindakan yang tepat”
          Meminta responden menjawab mengenai masalah yang telah lama terjadi seringkali tidak ada relevansi dan kepentingannya dengan sikap masa kini. Apalagi bila disadari bahwa mengetahui sikap sekarang mengenai hal yang telah berlalu merupakan hal yang tidak banyak gunanya. Sikap bukan merupakan aspek psikologis yang stabil untuk waktu yang lama. Interaksi manusia dengan lingkungan di mana ia berada sekarang sangat potensial untuk mengubah sikapnya terhadap sesuatu. Karena itu, pengukuran sikap hampir selalu ditujukan untuk mengungkap sikap terhadap objek psikologis masa sekarang.
2.      Jangan menulis pernyataan yang berupa fakta atau dapat ditafsirkan sebagai fakta.
Contoh: (Objek sikap – Program Keluarga Berencana)
“Keluarga berencana adalah program pemerintahan”
          Suatu pernyataan seperti contoh di atas adalah pernyataan yang berisi fakta atau kenyataan. Lepas dari setuju atau tidak setuju terhadap Program Keluarga Berencana, setiap orang yang tahu tentu memberikan jawaban favorabel terhadap pernyataan seperti itu. Dengan demikian apa yang terungkap bukanlah sikap terhadap sesuatu objek melainkan pengetahuannya mengenai objek tersebut. Pernyataan yang berisi fakta tidak akan dapat memberikan informasi kepada kita mengenai bagaimana sikap responden yang sebenarnya.
3.      Jangan menulis pernyataan yang dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran.
Contoh: (Objek sikap – Program Keluarga Berencana)
“Hari libur Keluarga Berencana perlu diadakan”
          Pernyataan seperti di atas akan menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi responden. Akibatnya dapat menimbulkan respon yang tidak sejalan dengan isi pernyataan seperti dimaksudkan  oleh penulis skala. Apa sebenarnya yang dimaksdukan dengan hari libur keluarga berencana? Apabila yang dimaksudkan adalah hari libur nasional untuk memperingati keluarga berencana, maka pernyataan itu adalah favorabel dan akan memancing jawaban “setuju” dari responden yang sikapnya terhadap keluarga berencana. Akan tetapi, apabila responden menafsirkan hari libur keluarga berencana sebagai hari libur di mana para peserta program keluarga berencana boleh melupakan alat kontrasepsi mereka dan meliburkan cara-cara pengaturan kehamilan, maka pernyataan itu menjadi pernyataan yang tak favorabel. Akibatnya, responden yang mempunyai sikap positif terhadap kelurga berencanan tentu akan tidak setuju terhadap pernyataan tersebut.
4.      Jangan menulis pernyataan yang tidak relevan dengan objek psikologisnya.
Contoh: (Obje sikap – Universitas Terbuka)
“Daya tamping universitas yang ada di Indonesia perlu segera ditingakatkan”
          Sekilas pernyataan ini berkaitan dengan masalah tidak tertampungnya sebagian besar calon mahasiswa di perguruan tinggi yang ada, yang menjadi salah-satu alasan dibukanya program universitas terbuka. Akan tetapi, beridiri sendiri, pernyataan itu tidak mempunyai kaitan apapun dengan Universitas Terbuka yang dijadikan objek sikap. Apakah responden menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap isi pernyataan tersebut, tidaklah dapat dijadikan petunjuk mengenai sikapnya terhadap Universitas Terbuka. Responden yang mengatakan setuju bahwa daya tampung perguruan tinggi sangat rendah dan karenanya perlu ditingkatkan, belum tentu akan juga setuju terhadap keberadaan Universitas Terbuka.
5.      Jangan menulis pernyataan yang sangat besar kemungkinannya akan disetujui oleh hampir semua orang atau bahkan hampir tak seorang pun yang akan menyetujui
Contoh:
“Setiap orang harus memperoleh makanan yang layak”
          Pernyataan ini akan hampir dapat dipastikan disetujui oleh semua orang. Apabila hampir kesemua orang setuju terhadap suatu pernyataan, maka pernyataan tersebut tidak ada artinya dalam mengungkap sikap.
          Contoh:
          “Segala bentuk pelanggaran lalu lintas harus dikena hukuman penjara”.
          Pernyataan seperti ini, yang dimaksudkan sebagai pengungkap sikap terhadap peraturan lalu-lintas, sangat boleh jadi tidak aka nada yang menyetujuinya. Sekalipun bagi mereka yang mempunyai sikap positif terhadap hukuman pelanggaran lalu-lintas, tetap akan mempertimbangkan bentuk pelanggaran lebih dahulu baru dapat menyetujui atau tidak menyetujui diterapkannya hukuman penjara. Pernyataan demikian ini juga tidak menolong dalam mengukur sikap manusia.
6.      Pilihlah pernyataan-pernyataan yang diperkirakan akan mencakup keseluruhan liputan skala afektif yang diinginkan.
          Masing-masing pernyataan mempunyai derajat afektif yang berbeda-beda. Ada pernyataan yang mempunyai derajat afektif yang dalam sehingga dapat mengungkap intensitas sikap yang dalam pula, ada pernyataan yang mempunyai derajat afektif yang dangkal sehingga hanya dapat mengungkap intensitas sikap yang tidak terlalu dalam. Umumnya hal ini dapat dilihat dari derajat favorabelnya suatu pernyataan.
          Untuk skala sikap secara keseluruhan hendaknya terdiri atas berbagai derajat afektif yang bertingkat sehingga ada pernyataannya yang dapat mengungkap intensitas sikap yang dalam dan ada pernyataannya yang dibuat hanya untuk mengungkap intensitas sikap yang sederhana. Dengan demikian, akan diperoleh liputan derajat afektif yang luas.
7.      Usahakan agar setiap pernyataan ditulis dalam bahasa yang sederhana, jelas, dan langsung. Jangan menuliskan pernyataan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang rumit.
8.      Setiap pernyataan hendaknya ditulis ringkas dengan menghindari kata-kata yang tidak diperlukan dan yang tidak akan memperjelas isi pernyataan.
9.      Setiap pernyataan harus berisi hanya satu ide (gagasan yang lengkap).
Contoh:
“Universitas A adalah universitas yang sistem administrasinya paling baik dan alumninya paling membanggakan”.
          Pernyataan ini merupakan satu contoh pernyataan yang mengandung dua gagasan pikiran, yaitu kualitas sistem administrasi dam kebanggaan alumni. Walaupun mungkin keduanya merupakan gagasan yang relevan guna mengungkap sikap terhadap sistem pendidikan di Universitas A, akan tetapi dua gagasan yang dimasukkan ke dalam satu pernyataan seperti itu mungkin mempunyai derajat afeksi yang berbeda tingkatnya. Seseorang mungkin akan menyatakan sangat setuju mengenai segi kebaikan sistem administrasi universitas tersebut, namun akan menyatakan ragu-ragu mengenai segi kebanggaan alumninya. Perbaikan yang dapat dilakukan adalah memisahkan kedua ide tersebut masing-masing ke dalam pernyataan yang berbeda.
10.  Pernyataan yang berisi unsure universal seperti “tidak pernah”, “semuanya”. “selalu”, “tak seorangpun”, dan semacamnya, seringkali menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan karenanya sedapat mungkin hendaklah dihindari.
11.  Kata-kata seperti “hanya”, “sekedar”,”semata-mata”, dan semacamnya harus digunakan seperlunya saja dan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran isi pernyataan.
12.  Jangan menggunakan kata atau istilah yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh para responden.
Contoh:
“Pemberian hadiah tidak akan mengubah motivasi siswa dalam belajar”.
          Tampaknya tidak sukar untuk memahami kalimat dalam pernyataan seperti ini. Padahal apakah responden akan memahami kalimat tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh penulis atau tidak, banyak tergantung pada keadaan responden yang akan dikenai skala nantinya. Perhatika kata motivasi di atas. Sebagian dari kita mungkin memahami maksudnya akan tetapi bagi banyak orang kata motivasi tidak memberikan gambaran apapun juga karena mungkin memang mereka tidak mengenalnya dalam percakapan sehari-hari.
13.  Hindarilah pernyataan yang berisi kata negatif ganda.
Contoh:
Tidak merencanakan jumlah anak dalam keluarga bukan tindakan yang terpuji”
          Kata “tidak” dan “bukan” dua-duanya adalah kata negatif, yang dalam banyak hal dapat membingungkan pembaca pernyataan. Kalau memang dimaksudkan untuk menulis pernyataan yang favorabel bagi keluarga berencana, kata tidak dan bukan dalam pernyataan di atas dapat dihilangkan sama sekali tanpa mengubah arti kalimatnya. Bila dirasa perlu dapat disisipkan kata “adalah” diantara kata keluarga dan kata tindakan.

SHARE BERBAGI MANFAAT SILAKAN

0 komentar:

Post a Comment